Eh, kenalnya kalian dengan Selawe, Limpul dan Cepek? Uang koin 25 Rupiah bergambar burung, ada juga uang kertasnya. That is Selawe.
|
Sumber Pinterest |
Limpul dan Cepek bukan lima puluh ribu dan seratus ribu seperti yang biasa kita maksud, melainkan 50 Rupiah dan 100 Rupiah.
Kuingat tiap naik kelas uang jajanku juga naik 100 Rupiah. Kelas 1 Rp100, kelas 2 Rp200, kelas 3 Rp300. Begitu seterusnya. Uang jajan bertambah tiap naik kelas adalah sejenis kesepakatan antara aku dan orangtuaku sebagai bentuk reward berhasil tak tinggal kelas.
Waktu naik kelas 2, bahagia sekali rasanya karena uang saku bertambah. Ingin sekali cepat-cepat naik kelas 5 supaya uang jajan jadi Rp500. Biar berasa kayak anak orang kaya yang uang jajannya banyak dan bisa jajan ini itu. Tanpa perlu senantiasa perhitungan, yang ini untuk keluar main (jam istirahat) pertama, yang ini untuk keluar main kedua.
Manalah paham ya kan. Padahal walau uang saku tiap tahun naik, harga barang pun naik. Di otakku, kalau uang jajan naik berarti paten, berasa naik kasta gitu. Aslinya ya sama saja nilainya. Padahal kena tokoh sama inflasi, tapi malah bahagia pula. Kasihan.
Saat kelas 6 aku lupa, apakah uang jajanku tetap Rp500 atau jadi Rp1000. Yang jelas masuk SMP uang jajanku pasti tak kurang dari Rp1000 karena harga jajanan di SMP mahal-mahal😅.
Di kelas 5 dan 6 biasanya aku bawa bekal. Asal mulanya karena teman sebangkuku sejak kelas 4, Linda namanya, rajin bawa bekal, dan bekalnya enak-enak di hidung dan lidahku. Nasi gorengnya enak, mi instan gorengnya enak, bahkan buah-buahan yang dibawanya juga enak. Apalagi air jeruk kasturinya. Darinya juga kutahu di dunia ini ada jeruk kasturi yang wanginya aduhai.
Belum lagi tempat minum, wadah bekal hingga sendok dan garpunya pun terlihat memukau. Di mataku terlihat berkelas. Warnanya sering berganti walau modelnya sama. Dan yang membuatku makin merasa wah, ada tas khusus bekalnya juga. Warna, desain dan bahan tasnya juga membuatku takjub. Punyaku hanya pakai plastik asoy bekas belanja emakku. Wadah bekalku waktu itu ada 2, yang satu banyak sekatnya, satu lagi tanpa sekat. Mana ada tas-tas cantik macam gitu. Terpikir pun tidak.
Yah, itulah awal pertama berkenalan dengan produk Tupperware. Konon, di Aek Loba, masa itu hanya orang-orang kaya saja yang punya.
Di ingatanku, Tupperware adalah botol minum yang bisa dengan aman diletak dalam tas bersama buku-buku tanpa khawatir tumpah atau merembes. Begitu pula dengan wadah makanan, tanpa dibungkus plastik pun tak perlu khawatir minyak pada sambal akan meleber keluar wadah, menodai buku tulis juga tas.
Pernah ketika botol minumku pecah, sengaja kuikut ketika hendak beli botol minum baru. Bertekad untuk mencari yang serupa milik Linda. Tapi tak kutemukan di toko-toko yg kudatangi. Sekian kali berganti toko, akhirnya kutemukan sebuah botol minum persis salah satu punya Linda, baik model, bentuk dan warnanya. Namun kumerasa tetap saja ada aura yang berbeda. Tak seperti milik Linda. Tapi ku tak tahu apanya.
Esoknya, dengan euforia agak lain dari biasa, kumasukkan botol minum baru itu ke ranselku. Tak lupa juga bekalnya. Sesampainya di sekolah, sehabis memarkir sepeda, kusandang ranselku, menuju ruang kelas. Tiba di bangku, rasanya ada yg tak beres. Baru sadar rok belakangku agak basah. Kubuka ransel. Ternyata air dalam tempat minum baru itu tinggal setengah. Padahal tutupnya masih terpasang. Buku-buku di tasku basah semua.
Tak seperti milik Linda yang tak akan menetes sedikitpun walau tempat minumnya ditunggangbalikkan, bahkan dikocak sekalipun.
Dalam hati, kuhanya bisa bertanya-tanya. WHY? Kenapa kok punya Linda bisa gitu sedangkan punyaku kayak gini? Kan sama-sama tempat minum, sama warna, sama bentuk, sama ukurannya. Why me?
Hmmm, lalu hanya bisa menerima, bahwa memang serupa tapi tak sama. Sejak saat itu kubutuh plastik asoy ekstra untuk tempat minumku.
Jauh hari kemudian baru kuketahui mengapa botol minumku terasa berbeda dengan milik Linda. Di bagian bawah tempat minum Linda bertuliskan Tupperware, di botol minumku tulisannya Houseware. Agak lama kutatap, beberapa kali kueja supaya tak silap baca. Dan memang tak silap.
Saat itu ku belum tahu signifikansi suatu merek. Kini ya sudah pahamlah ya, kan. That's what you called KW. 🐼
Mungkin sejak saat itu kali ya, tiap ke supermarket atau toko yang punya lapak bagian peralatan makan dan minum, entah kenapa pasti disempatkan mampir dan berlama-lama di rak-rak itu. Walau memang gak niat mau beli, karena memang gak butuh juga. Beda dengan lapak stationery atau ATK yang walau pun tak butuh dan tak niat beli, makin lama di situ, ujung-ujungnya pasti ada saja yang masuk keranjang🦝. Obsesi masa kecil rupanya.
By the way, ini bukan bagian dari iklan ya.
Ingatan yang Terbaurkan
SD Inpres 014654, SD-ku, memiliki halaman yang sangat luas. Entah karena itu gabungan dengan halaman SD sebelah jadi tampak sangat luas.
|
Sumber Google Maps |
Jadi ada 2 SD di lokasi itu. Meski tak ada pagar dan penanda batas yang jelas, tapi siswa masing-masing tahu, mana kawasan milik masing-masing. Terutama siswa kelas 6 SD kami dan SD sebelah yang berada di perbatasan wilayah. Bangunan kelas 6 kami berdampingan dengan bangunan kelas 6 SD sebelah. Dipisahkan lahan kosong sekitar 5x5 meter persegi. Dan lahan kosong itu milik kami. Buktinya kalau piket kebersihan, siswa kelas 6 kamilah yang menyapu lahan itu.
Begitu juga saat upacara bendera. Di halaman ada 2 tiang bendera. Yang satu di depan kantor kepala sekolah kami, yang satu lagi di depan kantor kepala sekolah SD sebelah.
Sejujurnya aku butuh waktu lama untuk mengingat bagian UPB (Upacara Pengibaran Bendera) ini. Ingatanku agak bercampur, antara kami upacara gabungan tiap pekan dengan bergantian sebagai penyelenggara, atau upacara masing-masing dan berbarengan. Karena aku ingat kami pernah sering "berlaga" ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hening Cipta. Siapa yg paling kuat suaranya ketika sama-sama mengibarkan bendera. Juga ketika melafalkan teks pancasila. Tak jarang masing-masing gagal fokus. Barisan upacara kami kami pun punggung ketemu punggung.
Dan setelah mengingat-ingat beberapa lama, memang tak salah ingat rupanya. Kedua praktik tadi memang terjadi. Hanya saja kulupa di kelas berapa sistem upacara masing-masing itu berganti menjadi upacara gabungan.
Kalau giliran SD kami, yang dipakai tiang bendera kami dan barisan menghadap SD kami. Pembina upacara, petugas pengibar bendera dan pemimpin upacara juga dari SD kami. Begitu pula ketika giliran SD sebelah, yang dipakai tiang bendera mereka dan barisan juga menghadap SD sebelah. Pun pembina dan pemimpin upacara serta petugas pengibar benderanya.
Jajanan SD di Kantin Sekolah
Bisa dikatakan SD kami tak punya kantin sekolah saat itu (entah kini). Maksudnya, jika definisi kantin sekolah adalah kantin yang berlokasi di lahan milik sekolah, maka memang sekolah kami tak punya kantin. Begitu pula SD sebelah. Warung jajanan sekolah berada di luar tanah sekolah. Lokasinya dekat, persis di belakang bangunan kelas 6 SD kami dan SD sebelah.
Ada 4 warung jualan yang berdampingan rapat-rapat. Masing-masing dimiliki seorang nenek. Nek Bongkok atau Nek Opak, Nek Kurus atau Nek Jinem, Nek Gendut atau Nek Lontong, Dan Nek Cerewet atau Nek Bubur. Sampai kini yang kuketahui nama aslinya hanya nama Nek Kurus yaitu Nek Jinem, karena masih masuk dalam hitungan tetangga. Yang lainnya tidaklah kutahu.
Julukan para nenek cukup mewakili karakteristik figur pemilik warung.
Nek bongkok atau Nek Opak menjual 2 jenis panganan. Opak ubi (yang ukurannya lebih besar dari piring makan) yang disiram dengan bumbu rujak, dan satu lagi Mi kuah. Mi lidi yang disiram kuah berbumbu micin. Bukan mie gomak. Kini orang Aek Loba sering menyebutnya sebagai Mi Esde ketika ada hantaran mi serupa dari tetangga berhajatan wirit dan sejenisnya.
|
Sumber Pinterest |
Nek Kurus atau Nek Jinem menjual Nasi Lemak, cenil, lupis, keripik pisang, pisang goreng dan bakwan.
Nek Gendut atau Nek Lontong menjual lontong sayur, ongol-ongol, kue lumpang, bakwan, dan tahu isi.
Nek Cerewet atau Nek Bubur menjual bubur kacang hijau, bubur pulut hitam, dan agar-agar yang semuanya disajikan dengan santan mentah. Selain itu juga ada miso, pisang goreng dan bakwan. Dari semua penjual, pisang goreng nenek ini yang paling kusuka. Walau warnanya agak negro, tapi rasa manis dan asamnya pas serta tak seret di tenggorokanku. Kalau bakwannya kurang pas di lidahku karena jenisnya yang kriuk. Di masa itu aku lebih suka bakwan Nek Lontong, yang pulen dan ukurannya gede😁.
|
Sumber Facebook |
Di kantin Nek Jinem seringnya aku beli cenil dan lupis dicampur. Kenyalnya pas, tak alot tak juga lembek. Lupisnya harum. Perpaduan saus gula merah dan kelapanya itu makyus. Rasanya nagih. Aku jarang beli nasi lemak karena bontotanku lumayan sering nasi juga, nasi goreng. Selain itu harga nasi, lontong dan miso lebih mahal dari pada kue dan gorengan.
Sejak terbiasa menabung, sayang rasanya menghabiskan uang jajan. Di kelas 5 atau 6, ku seperti menemukan solusi berhemat. Bersama Linda, muncullah ketertarikan untuk ikut 'magang' di kantin ketika jam istirahat. Awalnya Linda yang beberapa kali bantu-bantu Nek Lontong mengelap piring lontong yang baru dicuci. Lalu ia pun dikasi sepiring lontong, kadang kue atau gorengan.
Lama-lama aku pun diajaknya. Mulai dari mengelap piring, mencuci piring, menempatkan lontong-lontong dan printilannya ke piring, sampai terkadang ikut bantu menjuali dan menunggui warung Nek Lontong. Kami pun diupah sepiring lontong sayur, dan tak jarang juga dikasi kue atau gorengan oleh Nek Lontong.
Paling sesekali kami absen ketika Kak Leli (kalau tak salah ingat namanya) anak Nek Lontong, ikut membantu menjaga warung, atau ketika SD kami lagi tanding yeye dengan SD sebelah. Berhubung, kami berdua adalah salah dua atlet utamanya😅.
Selain 4 warung jajanan ini, ada lagi lokasi jajanan kami yaitu di halaman sekolah dekat gapura. Secara geografis, lokasi itu milik SD sebelah. Namun di tugunya bertuliskan SD 014654, sekolah kami. Abang-abang Es Tuntung sering ngetem di situ.
Es tuntung beraroma pandan. Dipotong lalu dicucuk dengan lidi, kemudian dicelup ke dalam cairan coklat. Jadilah es tuntung dengan toping coklat beku. Esnya lembut. Nikmat sekali.
Kadang sering juga abang-abang penjual es serut, es tebu, dan juga ibu-ibu penjual mi pecel mampir di lokasi yang sama di jam istirahat. Tapi aku kurang tertarik. Satu karena aku tak suka es serut. Selain hanya dapat rasa manis sesaat, sisanya tinggal rasa es batu. Rugi kurasa beli es serut🤣. Yang kedua, di rumahku banyak pokok tebu. Hampir tiap siang kuganyangi. Lagi-lagi beli es tebu rugi kali kurasa🤣. Kalau mi pecal, di masa itu aku agak anti makan mi. lebih ke tak terlalu suka rasanya. Kecuali mi goreng bekalnya Linda😁.
Walau pun kusuka dengan es tuntung ini, bukan berarti aku sering beli. Hanya jika beberapa kondisi ini terpenuhi barulah kubeli.
1. Ketika yang antre gak rameeee kali.
2. Ketika tak sedang musim kemarau di mana abu jalanan macam yang tampak di kegiatan pas mobil-mobil off road.
3. Sedang tak musim lalat.
4. Ketika kulihat kain lapnya masih bersih atau paling tidak belum gadel-gadel kali🤣.
Bisa dikatakan emakku cukup berhasil menanamkan makna "jangan jajan sembarangan" di otakku. Kriteria nomor 4 itu aku sendiri yang buat kayaknya.
Tak terlalu ingat kejadiannya gimana, hanya ingat pernah tersaksikanku kain untuk lap mangkoknya Nek Bubur juga dipakai untuk mengelap meja jualannya. Sejak saat itulah kuamati memang kain lapnya disamaratakan. Kan aku jadi berpikir sendiri lalu overthinking dan berakhir menakut-nakuti diri sendiri. Hadeeh.
Sejak saat itu, aku yang awalnya suka banget sama segala bubur dan agar-agar Nek Bubur, juga pisang gorengnya, kemudian hampir tak pernah lagi beli di situ. Trauma.
Padahal, beberapa kali kusempat melakukan sejumlah aksi yang usahanya agak lebih hanya untuk mendapatkan agak-agar kuah santan ini.
Pernah, sengaja ku langsung lari pas lonceng istirahat berbunyi hanya untuk mengejar supaya gak lama mengantre dan gak kehabisan itu agar-agar, berhubung stoknya terbatas.
Pernah juga sengaja datang pagi-pagi ke kantin Nek Bubur sebelum lonceng masuk (karena beberapa hari gak kebagian), eh rupanya hingga lonceng berbunyi, Nek Bubur belum jua datang.
Pernah juga ketika jam praktik olahraga di lapangan usai beberapa menit sebelum lonceng istirahat, ku lekas-lekas ke kantin Nek Bubur. Bahagia sekali rasanya kedapatan agar-agar tanpa harus mengantre dan bebas khawatir mendengar repetan Nek Bubur ketika murid-murid pada berdesakan mau cepat dilayani. Sayang, semenjak kelas 5 itu ku tak pernah lagi merasakan nikmat agar-agar kuah santannya Nek Bubur.
Nah, beberapa hari lalu emakku bercerita, bahwa beberapa pekan lalu ketika aku masih di Medan, ada tetangga wirit dan mengantar agar-agar kuah santan ke rumah. Enak kali katanya. Teringatlah aku pada agar-agar esde Nek Bubur. Dan kepinginlah ya kan. Besoknya terbuatlah dia. Lalu terbuatlah tulisan ini.
Kalau kamu, apa jajanan SD yang paling dirindukan?